Petualangan Gerhana Matahari Total 1983

Tepatnya tanggal 10 Juni, 1983, jam 10 malam, kami sekeluarga melaksanakan perjalanan dari Bandung menuju Cilacap dengan memakai sebuah Colt L-300 pinjaman. Saat itu kami berlima, ayah (alm), ibu, saya, adik saya dan pak supir. Mengapa jam 10 malam? Saat itu saya masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengan Atas dan hari itu sekolah saya menyelenggarakan malam kesenian, dimana saya juga menjadi panita untuk mengurusi dokumentasi.

Tidak usang sehabis berangkat, kami berempat tertidur pulas. Hanya pak supir yang terus terjaga menyetir di malam itu.

Sekitar jam 12 malam, saya terbangun dan kaget oleh guncangan kendaraan beroda empat yang cukup hebat. Karena terbangun dari keadaan tidur cukup pulas, sesaat saya lupa kalau ketika itu sedang berada di dalam mobil. Ayah dan ibu juga terbangun. Rupanya, kami berada di tempat pengisian materi bakar. Pak Supir sedang mengisi materi bakar untuk kendaraan beroda empat sambil mengguncang-guncangkan kendaraan beroda empat semoga muatan materi bakarnya dapat ‘optimum’. Mungkin berdasarkan dia, materi bakar itu menyerupai beras yang harus dibantu ‘settling’.

Kami datang di Cilacap tanggal 11 Juni dini hari dan eksklusif menuju penginapan untuk melanjutkan tidur. Pukul 6 pagi, kami berdiri dan berkemas untuk melaksanakan tujuan utama perjalanan ini! Mengamati gerhana matahari total 11 Juni 1983.

Setelah mandi dan sarapan ala kadarnya, kami segera berangkat menuju ke area luar kota Cilacap untuk mencari lapangan untuk melaksanakan pengamatan tanpa terlihat banyak orang.

Harap dimaklumi, kala itu pemberitaan mengenai Gerhana Matahari Total (GMT) cukup simpang siur. Pemerintah secara umumnya melarang warga untuk mengamati GMT, sementara para astronom justru mencoba menjelaskan cara-cara pengamatan yang aman. Sayangnya, luas bola imbas pemerintah dan militer jauh lebih besar, sehingga pesan mereka yang lebih keras terdengar.

Akhirnya kami berhasil menemukan lapangan kecil yang tidak dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Cukup memadai untuk keperluan mengamati gerhana. Teropong yang kami gunakan yakni Celestron C-90, sebuah teropong jenis Maksutov Cassegrain berdiameter 3 inchi beserta filter mataharinya. Teropong ini kami sambungkan ke kamera Pentax MX secara langsung, melalui adaptor dari C mount ke K mount sehingga terjadi proyeksi prime focus. Film yang kami gunakan yakni Kodak Ektachrome 100. Bagi para pembaca muda, jaman itu belum ada kamera dijital, dan film jenis Ektachrome yakni medium yang cukup baik untuk menyimpan gambaran ketika itu. Saya mulai memotret piringan matahari sementara ayah memotret suasana. Saya memotet piringan kira-kira setiap 3-4 menit.

Gerhana Matahari Total 11 Juni 1983. Kredit: Fred Espenak

Tidak usang sehabis kontak pertama, sepasang tentara yang mungkin sedang bertugas pengamanan di kawasan itu melihat kami. Baru terpikir kemudian bahwa lokasi pengamatan kami yang sepi ini erat sekali dengan penyimpanan minyak bumi dan merupakan wilayah keamanan tinggi. Kedua tentara itu mendekat dan menanyakan apa yang sedang kami lakukan. Alm ayah saya, yang kebetulan seorang dosen, menjelaskan kepada mereka bahwa kami sedang melaksanakan pengamatan GMT. Kami ceritakan juga kalau kami dari institusi pendidikan alasannya yakni itu kami termasuk yang “authorized” atau “diperbolehkan” untuk melaksanakan hal ini. he he he.

Kami juga mengajak mereka untuk turut mengamat melalui teropong kami. Setelah mereka puas dengan klarifikasi kami, dan sehabis ikut mengintip sejenak, mereka pun meneruskan perjalanan.

Saat menjelang totalitas, hari tidak sepanas sebelumnya. Bahkan dalam pengamatan saya, cahaya matahari menjadi lebih kuning-oranye seolah-olah senja. Burung-burung ramai sekali berkicau. Hari terus semakin gelap. Jeda waktu antar foto diperkecil.

Karena teropong yang saya gunakan tidak diperuntukkan untuk pecahan bumi selatan, maka seharusnya dilakukan polar alignment yang sayangnya tidak sempat kami lakukan. Akibatnya, setiap beberapa saat, piringan matahari harus dikembalikan ke tengah sudut pandang teropong dan kamera.

Ketika totalitas terjadi, suasana yang belum pernah saya rasakan sebelumnya terjadi. Suhu di sekeliling menjadi dingin. Hari menjadi gelap, tapi tidak gulita. Lampu lampu kilang dan penyimpanan minyak terlihat menyala secara otomatis di kejauhan. Suara Adzan juga terdengar sayup dari mesjid. Filter matahari saya lepas, dan saya terkagum kagum melihat penampakan Bailey’s Beads dan Diamond Ring. Semakin banyak foto saya lakukan, semakin menyesal tidak punya motor drive untuk kamera ini.

Setelah kontak ketiga dimulai, saya memasang kembali filter dan kembali kepada jeda pemotretan sebelumnya. Setelah gerhana, kami tetapkan untuk kembali ke Bandung. Maka semua instrumen pun dikemas kembali dan kendaraan beroda empat bergerak menuju Banung.

Demikian kisah petualangan Gerhana Matahari Total saya yang pertama. Sejak dari SD saya menggemari space science dan tidak disangka saya berkesempatan untuk mengalami GMT ini.

Saya sempat berpikir mungkin ini pengalaman sekali seumur hidup. Tapi nampaknya tidak demikian.

Selain itu, hasil pengamatan GMT 1983 ini saya bawa dalam seminar LIYSF, suatu seminar untuk ilmuwan muda di London. Saya menyajikan paper dengan judul, “Pengaruh Pemerintah dan Media pada GMT 83 di Indonesia. Foto-foto gerhana saya bawa dan sayangnya sehabis pertemuan, foto2-foto tersebut tidak ditemukan lagi.


Sumber: langitselatan